Facial dari Memori yang Ingin Kau Lupakan

Posted on

Facial dari Memori yang Ingin Kulupakan: Sebuah Otobiografi Perawatan Kulit yang Menyakitkan

Facial dari Memori yang Ingin Kulupakan: Sebuah Otobiografi Perawatan Kulit yang Menyakitkan

Setiap orang punya momen-momen dalam hidup yang ingin mereka kubur dalam-dalam. Momen-momen yang ketika muncul kembali dalam ingatan, membuatmu meringis, menutup mata, dan berharap punya mesin waktu untuk menghapusnya. Bagiku, salah satu momen itu terbungkus dalam pengalaman facial yang, sayangnya, sangat membekas di kulit dan pikiranku.

Aku selalu terobsesi dengan perawatan kulit. Sejak remaja, aku berjuang melawan jerawat yang meradang, komedo yang membandel, dan kulit kusam yang membuatku merasa kurang percaya diri. Aku mencoba berbagai macam produk, mulai dari yang dijual bebas di supermarket hingga krim racikan dokter kulit yang harganya bikin dompet menjerit. Tapi, hasilnya selalu mengecewakan.

Suatu hari, seorang teman merekomendasikan sebuah klinik kecantikan yang baru buka di dekat rumahku. Katanya, klinik itu punya facial yang ampuh untuk mengatasi semua masalah kulit. Aku, yang sudah putus asa, langsung tertarik. Aku menelepon klinik itu dan membuat janji untuk konsultasi dan facial.

Klinik itu terlihat mewah dan modern. Interiornya didominasi warna putih dan emas, dengan lampu-lampu kristal yang berkilauan. Aroma terapi lavender yang menenangkan memenuhi ruangan. Aku merasa sedikit gugup, tapi juga bersemangat. Mungkin, inilah solusi yang selama ini kucari.

Aku disambut oleh seorang wanita muda yang memperkenalkan dirinya sebagai terapis kecantikan. Dia memiliki kulit yang sempurna, tanpa pori-pori yang terlihat. Aku langsung merasa iri dan berharap dia bisa melakukan keajaiban pada kulitku.

Setelah sesi konsultasi singkat, terapis itu menyarankan aku untuk mencoba "Deep Cleansing Facial" yang diklaim bisa membersihkan pori-pori secara mendalam dan menghilangkan komedo. Aku setuju tanpa berpikir panjang. Aku terlalu fokus pada janji kulit bersih dan bercahaya, hingga mengabaikan intuisi yang berbisik bahwa ini mungkin bukan ide yang bagus.

Aku dipersilakan untuk berbaring di ranjang perawatan yang empuk. Terapis itu mulai membersihkan wajahku dengan susu pembersih dan toner. Sentuhannya lembut dan menenangkan. Aku mulai merasa rileks dan berharap yang terbaik.

Tapi, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Setelah membersihkan wajahku, terapis itu mulai mengaplikasikan scrub yang terasa kasar di kulitku. Dia menggosoknya dengan gerakan memutar yang kuat, seolah-olah sedang mengampelas kayu. Aku merasa kulitku perih dan memerah. Aku mencoba menahan diri dan berpikir bahwa ini adalah bagian dari proses.

Setelah scrub, terapis itu mengukus wajahku dengan alat uap. Uap panas itu membuat kulitku semakin perih dan berkeringat. Aku merasa seperti sedang di sauna. Aku mencoba bernapas dalam-dalam dan membayangkan kulitku menjadi lebih bersih dan sehat.

Kemudian, tibalah saat yang paling mengerikan: ekstraksi komedo. Terapis itu mulai memencet komedo-komedo di wajahku dengan alat ekstraktor logam. Dia menekannya dengan keras, seolah-olah ingin mencabut akar-akarnya. Aku merasa sakit yang luar biasa. Air mataku mulai menetes.

"Tahan sebentar ya, Mbak. Ini memang agak sakit, tapi hasilnya akan bagus," kata terapis itu tanpa menghentikan aksinya.

Aku mencoba menahan sakitnya, tapi rasanya tidak mungkin. Setiap kali dia memencet komedo, aku menjerit dalam hati. Aku merasa seperti sedang disiksa. Aku ingin menghentikannya, tapi aku terlalu takut untuk berbicara. Aku takut dia akan marah dan memperlakukan kulitku lebih buruk lagi.

Setelah ekstraksi komedo yang terasa seperti neraka, terapis itu mengaplikasikan masker wajah yang dingin dan lengket. Masker itu membuat kulitku terasa lebih tenang, tapi rasa sakitnya masih terasa. Aku berharap masker ini bisa menyembuhkan luka-luka yang ditinggalkan oleh ekstraksi komedo.

Setelah 20 menit, terapis itu membersihkan masker wajahku dan mengaplikasikan serum dan pelembap. Dia memijat wajahku dengan lembut, seolah-olah ingin meminta maaf atas semua yang telah dia lakukan. Aku merasa sedikit lebih baik, tapi rasa sakitnya masih membekas.

Ketika aku melihat diriku di cermin, aku terkejut. Wajahku merah padam, bengkak, dan penuh dengan bekas luka. Komedo-komedo memang hilang, tapi digantikan oleh luka-luka yang lebih buruk. Aku merasa seperti monster.

Aku membayar biaya facial dengan perasaan hancur. Aku tidak mengatakan apa-apa pada terapis itu. Aku hanya ingin keluar dari klinik itu secepat mungkin.

Dalam perjalanan pulang, aku menangis. Aku merasa bodoh dan menyesal telah melakukan facial itu. Aku telah mempercayakan kulitku pada orang yang salah. Aku telah membayar mahal untuk mendapatkan kulit yang lebih buruk dari sebelumnya.

Beberapa hari berikutnya adalah mimpi buruk. Luka-luka di wajahku semakin meradang dan bernanah. Aku tidak bisa keluar rumah karena malu. Aku hanya bisa berbaring di tempat tidur dan meratapi nasibku.

Aku mencoba mengobati luka-lukaku dengan berbagai macam krim dan salep. Tapi, tidak ada yang berhasil. Aku akhirnya memutuskan untuk pergi ke dokter kulit.

Dokter kulit itu terkejut melihat kondisi kulitku. Dia mengatakan bahwa aku mengalami infeksi bakteri akibat ekstraksi komedo yang tidak steril. Dia meresepkan antibiotik dan krim anti-inflamasi.

Butuh waktu berbulan-bulan untuk menyembuhkan luka-luka di wajahku. Bekas luka masih terlihat samar, tapi setidaknya kulitku sudah tidak meradang lagi.

Pengalaman facial itu telah mengubahku. Aku menjadi lebih berhati-hati dalam memilih perawatan kulit. Aku tidak lagi mudah percaya pada janji-janji manis dari klinik kecantikan. Aku lebih mendengarkan intuisi dan kebutuhan kulitku sendiri.

Aku juga belajar bahwa perawatan kulit yang baik tidak harus menyakitkan. Ada banyak cara untuk membersihkan pori-pori dan menghilangkan komedo tanpa harus menyiksa kulit. Misalnya, dengan menggunakan produk eksfoliasi yang lembut, masker lumpur, atau alat pembersih wajah yang sonik.

Facial dari memori yang ingin kulupakan itu adalah pelajaran yang mahal. Tapi, aku bersyukur telah melewatinya. Karena pengalaman itu telah membuatku menjadi lebih bijaksana dan lebih menghargai kulitku sendiri.

Sekarang, ketika aku melihat diriku di cermin, aku tidak lagi fokus pada kekurangan. Aku lebih fokus pada kelebihan dan keunikan yang aku miliki. Aku mencintai kulitku, apa adanya. Karena kulitku adalah bagian dari diriku, dan aku tidak akan pernah lagi memperlakukannya dengan buruk.

Dan jika ada yang bertanya tentang pengalaman facial-ku, aku akan menceritakan kisah ini. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menginspirasi. Untuk mengingatkan bahwa perawatan kulit adalah tentang mencintai dan menghargai diri sendiri, bukan tentang menyiksa dan menghukum diri sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *